Monday 21 January 2013


Acheh Othmaniah




Kerajaan Aceh Darussalam 
dan Othmaniah Turki,

Kehidupan ibarat seperti roda. Semuanya mengalir dan berputar. Demikian pula kerajaan Sriwijaya. Sebuah kerajaan besar Budha yang berpusat di selatan Sumatera ini pada akhir abad ke-14 M mulai memasuki era kejatuhan. Penaklukkan kerajaan Majapahit (1377)  ke atas Sriwijaya mempercepatkan kejatuhannya. Satu persatu daerah-daerah kekuasaan Sriwijaya menjadi bebas dan menjadi daerah otonomi atau bergabung dengan kejaraan kecil yang lain. Raja, adipati, atau penguasa setempat yang telah memeluk Islam  telah mendirikan kerajaan Islam yang kecil. Kemudian beberapa kerajaan Islam di Utara Sumatera bergabung menjadi Kerajaan Aceh Darussalam.

Di Eropah, akibat Perang Salib yang berlarutan dan perselisihan dengan para pedagang Islam, orang-orang Eropah mulai mencari emas, rempah-rempah, kain, dan segala macam barang ke dunia lain yang selama ini belum pernah dijangkaunya. Kaum Frankish mendengar adanya suatu dunia baru di selatan yang sangat kaya.

Pada tahun 1494 Paus Alexander VI memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katholik Portugis dan Sepanyol. Mandat ini dikenali sebagai Perjanjian Tordesillas1 yang membahagikan dua dunia selatan untuk dieksplorasi sekaligus menjadi sasaran penyebaran agama Kristian, satu untuk Portugis dan yang lainnya untuk Sepanyol.

Menyaksikan Portugis dan Sepanyol berjaya dalam ekspedisi itu, bangsa-bangsa Eropah yang lainnya tertarik untuk membuat eksplorasi seperti itu. Perancis, British, dan Jerman kemudian juga berusaha untuk mengirimkan armada masing-masing untuk menemukan dunia baru yang kaya-raya itu. Misi kerajaan-kerajaan Eropah ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”:Gold, Glory, dan Gospel. Emas yang melambangkan Eropah tengah mencari daerah kaya untuk dijajah, Glory dan Gospel dinisbatkan untuk penyebaran dan kejayaan agama Kristian.




Sejarahwan Belanda J. Wils mencatat jika pendirian pos-pos misionaris awal di Nusantara selalu mengikuti gerak maju armada Portugis-Sepanyol, “…pos-pos misi yang pertama-tama di Indonesia secara praktisnya jatuh bersamaan dengan garis-garis perantauan pencarian rempah-rempah dan ‘barang-barang kolonial’. Dimulai dari Melaka, yang ditawannya pada tahun 1511, perjalanan menuju ke Maluku (Ambon, Ternate, Halmahera), dan dari situ selanjutnya ke Timor (1520), Solor dan Flores, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (1544, 1563), dan berakhir di paling Timur Pulau Jawa (1584-1599).”

Kesultanan Aceh Darussalam

Peran Sriwijaya digantikan oleh Kesultanan Aceh Darussalam yang berasal dari penggabungan kerajaan-kerajaan Islam kecil seperti Kerajaan Islam Pereulak, Samudera Pase/Pasai, Benua, Lingga, Samainra, Jaya, dan Darussalam. Ketika Portugis merebut Goa di India, lalu Malaka pun akhirnya jatuh ke tangan Portugis, maka kerajaan-kerajaan Islam yang telah berdiri di pesisir utara Sumatera seperti kerajaan Aceh, Daya, Pidie, Pereulak (Perlak), Pase (Pasai), Teumieng, dan Aru dengan sendirinya merasa terancam armada Salib Portugis.

Menurut M. Said (Aceh Sepanjang Abad, hal.92-93) menulis, “Untuk mencapai nafsu jahatnya, dari Melaka yang telah ditawannya, Portugis mengatur rancangan penaklukkannya tahap demi tahap. Langkah yang diambilnya, yaitu mengirim kaki tangan-kaki tangan mereka ke daerah-daerah pesisir utara Sumatera untuk menimbulkan kekacauan dan perpecahan dalam negeri yang akan ditakluknya itu, sehingga menimbulkan perang saudara, seperti yang terjadi di Pase, sehingga ada pihak-pihak yang meminta bantuan kepada mereka, di mana ini menjadi alasan bagi mereka untuk melakukan campur tangan untuk langkah pertama menakluk .”

Strategi pihak Portugis ini kemudiannya diikuti Snouck Hurgronje. Akibatnya, Portugis, menjelang akhir abad ke 15 dan awal abad ke 16 telah menguasai kerajaan Aru (Pulau Kampai), Pase, Pidie, dan Daya. Di wilayah yang didudukinya, Portugis mendirikan pejabat  perdagangan dengan penjagaan ketat sejumlah pasukan tenteranya.

Perkembangan yang kurang menguntungkan ini terus dipantau oleh Panglima Perang Kerajaan Islam Aceh, Ali Mughayat Syah. Panglima Perang yang juga putera mahkota Kerajaan Aceh ini yakin  Portugis pasti akan menyerang kerajaannya. Mughayat Syah menyatakan hal ini kepada Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang sudah uzur. Untuk menghadapi Portugis, maka Kerajaan Aceh harus dipimpin oleh seorang yang muda, bijak, dan cekap. Akhirnya Sultan Alaiddin Syamsu Syah segera melantik anaknya sebagai penggantinya. Ali Mughayat Syah pun menjadi raja baru dengan bergelar Sultan Alaiddin Mughayat Syah. Sultan yang baru ini bertekad, untuk mengusir Portugis dari seluruh daratan pantai utara Sumatera, dari Daya hingga ke Pulau Kampai, seluruh kerajaan-kerajaan Islam yang kecil-kecil itu harus bersatu dalam kerajaan yang besar dan kuat. Maka Sultan Alaiddin Mughayat segera mengumumkan berdirinya Kerajaan Aceh Darussalam yang wilayah kekuasaannya meliputi Aru hingga ke Pancu di pantai utara, dan dari Daya hingga ke Barus di pantai Barat dengan beribukota kerajaan di Banda Aceh Darussalam. Padahal pada saat itu kerajaan-kerajaan Aru, Daya, Pase, Pidie, dan sebagainya masih diperintah oleh raja masing-masing. Dalam peperangan yang hebat ini akhirnya laskar Islam ini berhasil menghalau Portugis bersama para sekutunya.

Setelah berjaya mengusir Portugis, Sultan menciptakan bendera kerajaan Islam Aceh Darussalam yang dinamakan “Alam Zulfiqar” (Bendera Pedang) berwarna dasar merah darah dengan bulan sabit dan bintang di tengah serta sebilah pedang yang melintang di bawah berwarna putih. Sultan yang hebat ini menemui Sang Khaliq pada 12 Dzulhijah 936 H (Sabtu, 6 Agustus 1530).





Bersatu Dengan Kekhalifahan Turki Uthmaniah

Diikat dengan kesatuan akidah yang kuat, Aceh Darusalam mengikatkan dirinya dengan kekhalifahan Islam Turki Uthmaniah. Sebuah transkrip Uthmaniah berisi petisyen Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulaiman Al-Qanuni, yang dibawa Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Uthmaniah di Turki sebagai kekhalifahan Islam. Dokumen tersebut juga berisi laporan tentang armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal-kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Sebab itu, Aceh mendesak Turki Uthmaniah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir Farangi (Portugis).

Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi tentera ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapang api, tentera, dan perlengkapan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama mana yag diperlukan oleh Sultan Aceh. Walau pun armada tersebut berangkat dalam jumlah amat besar, yang tiba di Aceh hanya sebahagiannya sahaja, ini adalah  kerana di tengah perjalanan, sebahagian armada Turki dialihkan ke Yaman untuk membantu memadamkan pemberontakan yang berakhir pada 1571 M.6

Di Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Sultan Aceh menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gabernor (wali) Nanggroe Aceh Darussalam, utusan rasmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah tersebut. Pasukan Turki itu tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun seluruhnya ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentera Turki itu, Kesultanan Aceh menyerang Portugis yang berpusat di Melaka.



Untuk menjaga keamanan dari gangguan perompak, Turki Uthmaniah juga mengizinkan kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Uthmaniah di kapalnya. Laksamana Turki untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugis di Lautan India. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di Istanbul, Turki. Salah satu laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai berikut:

“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuhan Melaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Kerana itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, Insya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, kerana satu benteng tidak boleh menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”

Namun Portugis tetap sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata,“Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristian, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”.

Futuhat Pedalaman Sumatera

Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar dilantik pada 1537 M dan bertekad untuk membebaskan pedalaman Sumatera dari kaum kafir. Dengan bantuan pasukan Turki, Arab, Malabar, dan Abesinia, Aceh masuk ke pedalaman Sumatera. Sekitar 160 mujahidin Turki dan 200 Mujahidin Malabar menjadi tulang punggung pasukan. Mendez Pinto, pengamat perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan komandan pasukan seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani dari Kairo. Sejarahwan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, memperkuat Pinto dan menyatakan ini merupakan bentuk nyata ukhuwah Islamiyah antar umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap tentara Salib di wilayah sekitar Aceh.10

Turki Utsmani bahkan diizinkan membangun satu akademi militer, “Askeri BeytulMukaddes” yang di lidah orang Aceh menjadi “Askar Baitul Makdis” di wilayah Aceh.Akademi pendidikan militer inilah yang kelak dikemudian hari melahirkan banyakpahlawan Aceh yang memiliki keterampilan dan keuletan tempur yang dalam sejarahperjuangan Indonesia dicatat dalam dalam goresan tinta emas.11

pasukan Utsmani




Intelektual Aceh Nurudin Ar-Raniri dalam kitab monumentalnya berjudul BustanulSalathin meriwayatkan, Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan keIstanbul untuk menghadap “Sultan Rum”. Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji.12 Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.

Dalam peperangan di laut, armada perang Kesultanan Aceh terdiri dari kapal perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran besar. Sejarahwan Court menulis, kapal-kapal ini sangat besar, berukuran 500 sampai 2000 ton. Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang ingin merampok wilayah-wilayah Muslim di seluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan maritim yang besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan penuh dari armada perang Turki Utsmani dengan segenap peralatan perangnya.13

Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kegemilangan, juga pernah mengirimkan satu armada kecil, terdiri dari tiga kapal, menuju Istanbul. Rombongan ini tiba di Istanbul setelah berlayar selama 12,5 tahun lewat Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, dua belas penasehat militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi Kekhalifahan Utsmaniyah yang menegaskan bahwa antara kedua Negara tersebut merupakan satu keluarga dalam Islam. Kedua belas pakar militer itu diterima dengan penuh hormat dan diberi penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam persenjataan, siasat, dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi bangunan sehingga mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam membangun benteng tangguh di Banda Aceh dan istana kesultanan.



Kesultanan Aceh mendapat keistimewaan untuk mengibarkan bendera Turki Utsmani pada kapal-kapalnya sebagai tanda hubungan erat keduanya.

Dampak keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang armada Salib Portugis di Samudera Hindia tersebut amatlah besar. Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tengg ara ke Mekkah; memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; dan juga mengamankan jalur perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India-Selat Malaka-Jawa-dan ke Cina. Kesinambungan jalur-jalur perniagaan antara India dan Nusantara dan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari gangguan14.



Bukan Hanya Aceh

Selain Aceh, sejumlah kesultanan di Nusantara juga telah bersekutu dengan kekhalifahan Turki Utsmaniyah, seperti Kesultanan Buton, Sulawesi Selatan. Salah satu Sultan Buton, Lakilaponto, dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din yang memiliki arti “penegak agama”, yang dilantik langsung oleh Syekh Abdul Wahid dari Mekkah. Sejak itu, Sultan Lakiponto dikenal sebagai Sultan Marhum. Penggunaan gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang menyebutkan dari penguasa Mekkah).

Jika kita bisa menelusuri lebih dalam literatur klasik dari sumber-sumber Islam, maka janganlah kaget bila kita akan menemukan bahwa banyak sekali kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara ini sesungguhnya merupakan bagian dari kekhalifahan Islam di bawah Turki Utsmaniyah. Jadi bukan sekadar hubungan diplomatik seperti yang ada di zaman sekarang, namun hubungan diplomatik yang lebih didasari oleh kesamaan iman dan ukhuwah Islamiyah. Jika satu negara Islam diserang, maka negara Islam lainnya akan membantu tanpa pamrih, semata-mata karena kecintaan mereka pada saudara seimannya. Bukan tidak mungkin, konsep “Ukhuwah Islamiyah” inilah yang kemudian diadopsi oleh negara-negara Barat-Kristen (Christendom) di abad-20 ini dalam bentuk kerjasama militer (NATO, North Atlantic Treaty Organization), dan bentuk-bentuk

kerjasama lainnya seperti Uni-Eropa, Commonwealth, G-7, dan sebagainya.

Qanun Meukuta alam

Salah satu keunggulan lain dari Kesultanan Aceh Darussalam adalah konstitusi negara yang disebut Qanun Meukuta Alam yang bersumberkan dari Qur’an dan hadits, yang sangat lengkap dan rinci. Kesultanan Brunei Darussalam merupakan salah satu kesultanan yang mengadopsi hukum ini dari Aceh.

Salah satu yang diatur adalah perayaan hari besar agama Islam. Di akhir bulan Sya’ban, misalnya, ketika shalat tarawih akan diadakan untuk pertama kalinya, maka di halaman Masjid Raya Baiturahman, raja memerintahkan agar dipasang meriam 21 kali pada pukul lima lebih sedikit. Tiap 1 Syawal, pukul lima pagi setelah sholat Subuh, juga dipasang meriam 21 kali sebagai tanda Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Haji pun demikian. Setiap hari besar Islam, kerajaan mengadakan acara yang semarak yang sering dikunjungi oleh tamu-tamu agung dari negeri lain.

Kebesaran Aceh diakui dunia antarabangsa. Wilfred Cantwell Smith dalam Islam in Modern History, kelima besar Islam dunia saat itu adalah: Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Kecil yang berpusat di Istanbul, Kerajaan Maroko di Afrika Utara yang berpusat di Rabat, Kerajaan Isfahan di Timur Tengah yang berpusat di Persia, Kerajaan Islam Mughol di anak benua India yang berpusat di Acra, dan yang kelima adalah Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara yang berpusat di Banda Aceh.



No comments:

Post a Comment

Masih ad-Dajjal Al-Masih ad-Dajjal ( Arabic : المسيح الدجّال‎ Al-Masīḥ ad-Dajjāl, Arabic for "the false messiah "), is an evil...